Raja Cerpen ~ Suatu hari Pak Dokter Ramsey pindah ke Jakarta. Beberapa musim liburan sekolah Yongky kembali ke Sungailiat, karena papanya masih bertugas di Sungailiat. Kedatangan Yongky dan kesempatan berjumpa denqannya selalu membuatku girang tak terkira. lbunda mengerti sekali. Lalu, siang harinya aku akan bermain sepuasnya dengan Yongky. Selalu saja kudapatkan suasana bermain yang baru.
Ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMP dan bertambah bandel, Yongky datang bersama papanya dan seorang kakaknya. Waktu itu papanya mengajakku menginap di rumah megah beliau di perkebunan cengkeh yang amat luas itu.
Kebetulan hari itu hujan turun bertubi-tubi sejak pagi. Kemudian, bersama sopir mereka, kami pergi berenang di pemandian air panas Pemali. Dua hari aku menemaninya berlibur. Lalu pada sore harinya dia kembali ke Jakarta. Itulah pertemuan terakhir kami.
Pertengahan masa SMP, aku sudah melupakan Yongky. Tidak ada lagi hal-hal istimewa. Aku sibuk bermain dengan kawan-kawan kampung dan sekolahku, bahkan aku menjadi semakin bandel. Sampai ketika aku melanjutkan sekolah ke Jogja dan beberapa kali mudik ke Bangka, tidak sekalipun aku menyempatkan diri singgah ke rumah Yongky di Jakarta. Aku betul-betul kehilangan komunikasi apa pun dengannya.
Saat aku di Jogja aku mendapat kabar bahwa Yongky sudah menjadi sarjana komputer dan sudah 6 bulan ini membuka kursus kornputer. Bahkan, rencananya dia juga akan membangun usaha warnet.
Malam Sabtu suhu kamar kontrakanku gerah sekali. Beberapa kali aku terbangun dari tidurku. Kukira pagi-pagi kelak bakal hujan deras. 'Ternyata tidak. Lantas hari Sabtu, esoknya, suasana senja lebih cepat berkunjung akibat mendung. Kisah iklan biskuit yang kutonton beberapa hari masih menari-nari, mengusik kegelisahanku dan kerinduanku.
Sabtu pukul 16.45 WIB Ibunda menghubungiku via interlokal dari Bangka. Aku tengah asyik merangkai kata demi kata dan memperbaiki kisah-kisah usang yang menurutku, harus ditata ulang selagi ide-idenya bagus. Kusambut inlok dari Ibunda.
Ngapain sih inlok jam-jam segini, pikirku. Jam-jam segini ongkos inloknya mahal. Ntar kalau tekor, ngomel-ngomel lagi ama orang-orang di rumah.
Ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMP dan bertambah bandel, Yongky datang bersama papanya dan seorang kakaknya. Waktu itu papanya mengajakku menginap di rumah megah beliau di perkebunan cengkeh yang amat luas itu.
Kebetulan hari itu hujan turun bertubi-tubi sejak pagi. Kemudian, bersama sopir mereka, kami pergi berenang di pemandian air panas Pemali. Dua hari aku menemaninya berlibur. Lalu pada sore harinya dia kembali ke Jakarta. Itulah pertemuan terakhir kami.
Pertengahan masa SMP, aku sudah melupakan Yongky. Tidak ada lagi hal-hal istimewa. Aku sibuk bermain dengan kawan-kawan kampung dan sekolahku, bahkan aku menjadi semakin bandel. Sampai ketika aku melanjutkan sekolah ke Jogja dan beberapa kali mudik ke Bangka, tidak sekalipun aku menyempatkan diri singgah ke rumah Yongky di Jakarta. Aku betul-betul kehilangan komunikasi apa pun dengannya.
Saat aku di Jogja aku mendapat kabar bahwa Yongky sudah menjadi sarjana komputer dan sudah 6 bulan ini membuka kursus kornputer. Bahkan, rencananya dia juga akan membangun usaha warnet.
Malam Sabtu suhu kamar kontrakanku gerah sekali. Beberapa kali aku terbangun dari tidurku. Kukira pagi-pagi kelak bakal hujan deras. 'Ternyata tidak. Lantas hari Sabtu, esoknya, suasana senja lebih cepat berkunjung akibat mendung. Kisah iklan biskuit yang kutonton beberapa hari masih menari-nari, mengusik kegelisahanku dan kerinduanku.
Sabtu pukul 16.45 WIB Ibunda menghubungiku via interlokal dari Bangka. Aku tengah asyik merangkai kata demi kata dan memperbaiki kisah-kisah usang yang menurutku, harus ditata ulang selagi ide-idenya bagus. Kusambut inlok dari Ibunda.
Ngapain sih inlok jam-jam segini, pikirku. Jam-jam segini ongkos inloknya mahal. Ntar kalau tekor, ngomel-ngomel lagi ama orang-orang di rumah.
"Noy, jam setengah lima tadi Yongky masuk RS Timah Pangkalpinang, karena sakit malaria, dan sesak natasnya kambuh. Sore ini Yongky langsung diterbangkan ke Jakarta untuk segera dirawat di sana."
"Hah?!" kata-kataku tidak sanggup tercurah. Seketika pikiranku terbang entah ke mana. Kutatap suasana di luar kontrakanku tampak langit mencucurkan titik-titik kristal bening.
Disadur dari: "Penerbangan Dini", Agustinus Wahyono
Labels:
Cerpen Sedih
Thanks for reading Penerbangan Dini. Please share...!
0 Comment for "Penerbangan Dini"