Raja Cerpen ~ Setiap pagi Widodo keluar dari gubuknya, meninggalkan istri dan tiga anaknya, membawa plastik murahan berwarna hitam. Sudah seminggu ini persediaan beras di rumah semakin menipis. Istrinya meratap tetapi Widodo hanya mengatakan supaya menunggu beberapa hari ini. "Aku akan pulang dengan tas hitam ini penuh dengan uang."
Dengan hati-hati dibukanya tas plastik hitamnya dan dikeluarkannya sebuah bungkusan yang kelihatan gawat. Dipegangnya bungkusan itu dengan sangat hati-hati, tangan istrinya dia larang menyentuh. "Awas, nanti pecah. Teko Jepang ini hanya boleh dipegang oleh tangan yang ahli. Kau tahu, berapa usia teko ini?"
"Bukalah!" pinta istrinya.
"Tak usah. Ini usianya sudah mencapai 18 abad, tahu kau? Teko ini dibuat di Tiongkok pada zaman Dinasti Nang. Bahkan dengan teko inilah dulu kala para duta Cina dan Sriwijaya mengadakan upacara minum teh. Dan kau tahu, berapa harganya?" tanyalah lagi tapi yang bukan mengharap jawaban.
"Entahlah! Tapi beras kita hampir habis!" keluh istrinya.
"Tenang saja harga teko ini lima belas juta rupiah," katanya. la lalu memasukkan teko ke dalam bungkusan dan terus ke tas plastik hitamnya. Kemudian dia pergi lagi mencari Mister Tammy.
Di depan Mister Tammy, Widodo membuka bungkusan teko antiknya, juga tetap dengan sangat hati-hati. Tangan lelaki itu gemetar. Di kepalanya terkhayal uang jutaan rupiah yang menggodanya, beterbangan di lantai kamarnya, kemudian mobil mengkilap dan rumah baru.
Lama Widodo membiarkan korbannya itu takjub. Dilihatnya bagaimana Mister Tammy melotot seolah-olah berhadapan dengan karya seni yang terbesar di dunia. "Alangkah menakjubkan!" bisiknya.
"Berapa harganya?" tanya Mister Tammy tanpa menyentuh. "Lima belas juta, Mister. Halus sekali. Sentuhlah!"
"Tidak. Aku tak berani menyentuh benda antik seindah itu."
"Tak bisa kurang sedikit?"
"Tentu saja bisa, Mister. Dalam perdagangan seperti Tuan maklum, harga bisa damai. Apalagi Mister pencinta benda seni!"
Tammy bangkit kemudian ke belakang. Dia menulis sepucuk surat untuk Tuan Wahyono. Dia suruh pelayannya cepat mengantarkan surat itu.
"Aku minta bantuan Tuan Wahyono untuk menilai harga teko ini. Dia adalah ahli keramik. Rumahnya di sebelah itu," ujar Tammy setelah kembali duduk di dekat tamunya.
"O, baik sekali, Mister. Itu lebih pasti," kata Widodo lega.
"Aku minta kau bisa bersikap luwes dalam soal harga," bisik Mister Tammy. "Pasti. Kita tunggu saja apa kata ahli keramik itu tentang teko ajaib ini. Kata yang punya dulu, teko ini bisa menangis kalau malam Jum'at."
"Menangis? Kau sungguh-sungguh?"
"Yaa, buat apa saya membohongi Anda, Mister?"
"Aku pernah bermimpi, memiliki teko yang bisa menangis." "Oh, lihatlah, Mister. Bulu romaku berdiri!" jerit Widodo.
Kemudian datang Tuan Wahyono dengan buru-buru. Sebagai ahli keramik, dia sudah menyatukan seluruh kehidupannya dengan keramik yang telah jadi fosil kehidupan. Dia pegang teko itu dan mengamat-amatinya secara cermat melalui kacamata tebalnya. "Alangkah indahnya, keramik ini," katanya dingin dan mata Widodo bersinar-sinar. "Sayang sekali ujungnya agak retak. Naganya bagus!".
Kedua lelaki yang mendengar komentar ini tak berani membuka mulut. "Ini adalah teko buatan Jepang," kata Tuan Wahyono kemudian. Teko tadi lalu dislentik-slentiknya, sehingga berbunyi tig, tig, tig. "Tapi sayang sekali, Tam, usianya masih muda sekali. Lihat, ini! Suaranya tidak bening, kan. Kalau keramik antik bunyinya ting-ting-ting. Bukan tig-tig-tig. Dan keramik kuno tidak punya bentuk semacam ini. Ini jelas keramik Jepang yang masih muda sekali usianya," sambungnya dengan nada datar.
"Berapa kira-kira, harganya?" tanya Tammy tiba-tiba.
"Begini, Tam," sahut Wahyono si ahli keramik. "Teko ini murah sekali. Tetapi sepuluh abad lagi akan sangat mahal. Ini adalah teko yang dibuat Jepang pada tahun empat puluhan dan dibawa kemari. Tentu saja harganya murah. Kira-kira dua ribu peraklah, begitu. lni bukan benda kuno sama sekali, kecuali sepuluh abad lagi, kelak!"
Baik Tammy maupun Widodo mulai menyadari bahwa keduanya amat terkejut. Impian masing-masing telah buyar. Teko yang bisa menangis dan selamat tinggal kemelaratan! Datang Tuan Wahyono membangunkan mereka dengan kata-kata sedemikian datar dan dingin, sehingga Widodo merasa beku seketika.
"Sungguh? Bukan buatan dari Dinasti Nang delapan belas abad yang lalu, teko ini?"
"Bukaaan. Ini buatan Jepang. Indah, tapi dari tahun 40-an." Tuan Wahyono bangkit. Pulang.
Karya: Jasso Winarto Cerita Pendek Indonesia III. Satyagraha Hoerip, Gramedia. 1986
Labels:
Cerpen Lucu
Thanks for reading Teko Jepang. Please share...!
0 Comment for "Teko Jepang"