Raja Cerpen ~ "Satu jam lagi," kata Pak Aruman dalam hati. Lalu arloji itu dimasukkan lagi ke dalam sakunya, yang kemudian dirapatkan dengan peniti. "Hati-hati di kereta api, banyak copet," demikian pesan tetangganya, ketika Pak Aruman pamit akan ke Jakarta. Oleh karena itu, arlojinya tidak dipakai di pergelangan tangannya.
"Karcis sudah didapat. Akan tetapi, ... perut terasa lapar. Nah, itu ada depot ... ," pikir Pak Aruman, setelah membaca tulisan di depan sebuah stasiun. Kakinya kemudian melangkah menuju tempat yang diharapkan dapat memenuhi kehendaknya untuk mengisi perut.
Begitu dia membuka pintu, terdengar suara, "Selamat pagi." "Selamat pagi. Tetapi ... eh, ini sudah siang," sahut Pak Aruman sambil mencari-cari siapa yang mengucapkan salam tadi.
"Karcis sudah didapat. Akan tetapi, ... perut terasa lapar. Nah, itu ada depot ... ," pikir Pak Aruman, setelah membaca tulisan di depan sebuah stasiun. Kakinya kemudian melangkah menuju tempat yang diharapkan dapat memenuhi kehendaknya untuk mengisi perut.
Begitu dia membuka pintu, terdengar suara, "Selamat pagi." "Selamat pagi. Tetapi ... eh, ini sudah siang," sahut Pak Aruman sambil mencari-cari siapa yang mengucapkan salam tadi.
Ketika dia melihat seekor burung Beo dalam sangkar bagus di sudut ruangan maka tertawalah dia. Burung itu pun ikut tertawa.
"Kopi panas satu," kata burung Beo, jelas.
Pak Aruman tertawa dalam hati. Pintar benar burung Beo ini, pikirnya.
"Satu nasi goreng ... ," kata burung itu pula. "Klop!" kata Pak Aruman.
"Pakai telur mata sapi," kata si Beo pula.
"Yah ... ," sahut Pak Aruman, sambil tersenyum-senyum. Lalu dia mengambil tempat duduk dekat sangkar burung.
Lama tidak ada pelayanan, iseng-iseng Pak Aruman mendekati si burung Beo.
"Kau pintar, bagaimana bisa tahu seleraku?" tanya Pak Aruman.
"Tusuk gigi," kata si burung Beo.
"Ya ... ya ... tentu saja. Tusuk gigi gratis, dan itu perlu untuk membuang kotoran yang melekat pada gigi."
"Lalu, apa lagi?" katanya pula. "Selamat pagi," sahut si burung.
"Sudah kukatakan, sekarang sudah siang." "Kopi panas," kata si Beo pula.
"Itu sudah."
"Satu nasi goreng."
"Juga sudah."
"Pakai telur mata sapi .... "
"Jelas. Itu sudah kamu katakan tadi."
''Tusuk gigi."
"Batal ... batal ... batal ... ," teriak si Beo, lantang.
"Ya. Batal saja. Bisa ketinggalan kereta api," kata Pak Aruman. Dia pun berdiri dari duduknya dan mengangkat kopor bawaannya.
Begitu membuka pintu dan akan melangkah keluar, terdengar olehnya si Beo berkata lagi:
"Terima kasih."
"Terima kasih, apa! Perutku sama sekali belum terisi ... ," gerutu
Pak Aruman sambil bergegas pergi.
Dalam perjalanan, lelaki itu termenung sambil memandang keluar jendela. Ingatannya masih tertuju kepada si Beo, yang tadi dianggap pandai dan mewakili dirinya. Dia merasa bahwa burung pintar itu sengaja diletakkan di tempat itu untuk membantu pembeli memesan makanan. Apa betul begitu?
Lama dipikir-pikir, akhirnya Pak Aruman tertawa sendiri, menertawakan kebodohannya. Untung tertawanya tidak terlalu keras sehingga tidak terdengar orang yang duduk di sebelahnya. Kalau terdengar tentu dia ditertawakan orang.
Labels:
Cerpen Lucu
Thanks for reading Beo di Depot Stasiun. Please share...!
0 Comment for "Beo di Depot Stasiun"