Raja Cerpen ~ Diskusi dalam simposium itu sanqat menarik. Could it be HIV? Ya, masalah AIDS selalu menarik untuk didiskusikan. Seseorang dengan tes HIV positif kadang-kadang tak menunjukkan gejala. Padahal ia berpotensi untuk menularkan AIDS. Sampai saat istirahat masih juga beberapa peserta asyik berdiskusi.
"Isti, kau nggak mau ngopi dulu?" tegur Dohar dengan logat Bataknya yang khas.
"Sebentar, Do ... ,"jawab Isti dan pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada seseorang yang sedang memperhatikannya. Seorang pria dengan brewok¬nya yang lebat namun terkesan rapi. Pria itu tersenyum dan menghampiri Isti.
"Bo1eh aku memperkenalkan diriku? Namaku David Smith," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Dr. David Smith adalah pembicara dari La Trobe University. La memberikan ceramah mengenai aspek sosial penyakit AIDS.
"AIDS memang menakutkan kita semua. Tanpa kita sadari, kita telah mengucilkan mereka. Kita tidak memberi harapan dan merampas hak mereka untuk mendapat perlakuan yang sama, seperti penderita penyakit lainnya. Padahal mereka membutuhkan lebih banyak perhatian, perlindungan, dan kasih sayang.... " David menyarankan, pendidikan tentang penyakit AIDS sebaiknya tidak diembel-embeli dengan gambar-gambar yang menakutkan.
"Kau memberi ceramah sangat bagus. Selamat, David," puji Isti.
"Terima kasih, Isti. Namun, aku tidak tahu, apakah sikap peserta yang hadir saat ini terhadap penderita AIDS akan berubah lebih baik?"
"Mudah-mudahan, David. Tapi, untuk tidak menjadi takut dan mengasihi, Oo ... , aku tidak tahu bagaimana caranya," kata Isti terus terang. David tersenyum lembut. la menarik napas panjang. .
"Memang sulit, Isti. Semula aku juga tidak peduli, namun setelah adikku sendiri terkena AIDS, aku menyadari ada sesuatu yang harus kita perjuangkan,"
"Ooh ... ," keluh Isti simpati. "Dan, bagaimana keadaan adikmu sekarang, David?"
"Robert meninggal setahun yang lalu," jawab David sambil menghela napas panjang. "
"Oh, maaf ... ," kata Isti lembut.
"Tidak apa-apa, Isti. Musibah itu telah mengubah hidupku menjadi lebih berarti. Aku menjadi sukarelawan untuk memberi penerangan mengenai AIDS. Kami berkeliling dari kota ke kota, dari sekolah ke sekolah dan organisasi pemuda, untuk menyadarkan mereka tentang penyakit itu. Bagaimana cara menghindari dan menghambat penyebarannya. Walaupun hanya sebagai lilin¬ lilin kecil, kalau kita bergabung, pasti akan kelihatan manfaatnya."
David menjadi teman korespondensi yang menyenangkan. la selalu menceritakan kegiatan sehari-harinya. Yang lucu, yang menggembirakan, dan yang menjengkelkan. Demikian juga lsti. Mereka saling bertukar pendapat. David rajin mengirim artikel-artikel penelitian mengenai AIDS. Menanyakan kemajuan Isti dan menyatakan kerinduannya.
"Ada seseorang yang istimewa yang akan kau undang, Mbak?" tanya Nani ketika melihat Isti sibuk menulis alamat di sampul surat undangan.
"Seorang teman di Australia. Tapi aku tak yakin ia akan datang," jawab Isti tersenyum dalam hati. la tak tahu, bagaimana reaksi ibunya kalau David benar¬ benar datang. Nani tertegun ketika membaca alamat yang tertera di sampul undangan. Wajahnya berubah keruh.
"Mengapa?"
Isti bertanya heran.
"Tidak apa-apa," Nani menjawab pendek dan pergi meninggalkan Isti. Malam nanti adalah malam midodareni. Nani pergi ke salon dari jam 12 siang tadi dan belum kembali. Sudah jam empat sore. Nani belum juqa kembali.
Disusul ke salon, ternyata Nani meninggalkan sepucuk surat. la membatalkan rencana perkawinannya!
Maafkan Nani, Ibu. Nani telah berdosa dan membuat Ibu sedih. Nani tidak bisa menikah dengan Mas Surya. Namun percayalah, apa yang Nani putuskan adalah yang terbaik untuk Nani maupun Mas Surya ....
Bu Darsono jatuh pingsan ketika membaca surat Nani. Seisi rumah menjadi panik,
Isti tertegun sesaat. Ada suatu perasaan yang tak dapat dikatakannya.Wajah Suryo melintas. Kemudian wajah David. Isti tak tahu siapa yang kini mengisi relung hatinya. Ah, mengapa ia harus menghalangi Nani untuk meraih kebahagiaan? Bukankah jodoh memang sudah digariskan? Isti memeluk adiknya dengan mata berlinang.
"Jangan berkata begitu. Kau tak mengambilnya dariku. Tuhan telah memberikan Suryo kepadamu. Jangan menangis. Aku ikhlas, adikku ... ," Nani makin terisak. la rnemeluk Isti erat-erat,
"Aku takut. Aku berdosa. Aku lebih bahagia bila perkawinan ini tak terjadi"
"Hush, jangan sekali-kali kau berkata begitu. Mbak doakan, kebahagiaan akan melimpahi perkawinanmu. Nah, jangan menangis lagi, adikku," hibur Isti tulus.
Isti menghela napas panjang. Nani membatalkan perkawinannya dengan alasan tak jelas. Isti iba memandang wajah ibunya yang terbaring pucat. Betapa besar rasa malu yang akan mencoreng kehorrnatan keluarganya. Mengapa Nani tidak berpikir sampai di situ? Apa yang harus dikatakannya kepada Suryo? Isti berlutut dan mencium dahi ibunya.
"Isti akan mencari Nani, Bu ... ," bisiknya sendu.
Isti baru menstarter mobilnya ketika sebuah taksi berhenti tiba-tiba. Seseorang turun. Dan jantung Isti seakan berhenti berdetak. David Smith telah berdiri di samping mobilnya.
"Untung aku tidak terlambat. Kau hendak pergi, Isti?" mata David yang biru tampak berbinar.
"Hai ... ," Isti menyapa David tanpa semangat. "Ada apa, Isti? Kau tampak tidak bahagia .... "
"Mari masuk ke mobilku, David. Ada sesuatu yang terjadi. Dan aku akan menceritakan kepadamu."
"Kau tampak sangat berduka, Isti.Sebaiknya kau ceritakan dulu hal itu .... " "David, Nani adikku, mendadak meninggalkan rumah dan membatalkan perkawinan. Aku harus segera menemukan dia," jawab Isti agak ketus. Tiba-tiba saja ia ingin marah. lsti ingin melampiaskan semua kekesalan dan laranya. "Isti, berhentilah. Biar aku yang mengemudi ... ," bujuk David lembut.
Isti menarik napas panjang. la menghentikan mobilnya ke tepi. David menghapus air mata yang mengalir di pipi Isti.
"Berpikirlah secara tenang, Isti. Kau tahu, mengapa Nani membatalkan perkawinannya?"
"Aku tak tahu, David. Tapi semua orang menduga karena aku," Isti menuturkan pandangan menusuk yang diterimanya dari Bude Ami dan Bude Surti. Menyakitkan. David menggelengkan kepalanya. Matanya yang biru menyiratkan keyakinan.
"Tidak, Isti. Pasti bukan karena engkau. Kau pernah menulis di suratmu. Persoalan tersebut sudah selesai. Jangan kau salahkan dirimu."
Isti menghela napas panjang. Pikirannya terasa buntu. la merasa letih. Keyakinan David menghibur hatinya.
.
"Apakah Nani pernah menceritakan kepadamu tentang kesehatannya?" tanya David tiba-tiba setelah terdiam beberapa lama.
Isti tertegun. Nani tidak pernah cerita apa-apa tentang kesehatannya dan dia juga tidak pernah memperhatikannya. Ya, Nani memang tampak kurus dibandingkan satu atau dua tahun lalu.
David menghela napas panjang. la mengeluarkan sehelai foto sebesar kartu pos dan memberikan kepada Isti. "Aku belum pernah bertemu dengan adikmu, Isti. Tapi foto yang terpajang di meja kerja Robert ini sangat mirip denganmu. Apakah gadis yang bersarna Robert itu adalah Nani, adikmu?"
Mata Isti terbelalak menatap foto di tangannya. Ya, gadis itu adalah Nani. Samar-samar Isti teringat. Nani pernah punya pacar ketika belajar Administrasi Bisnis di Australia. Kepala Isti tiba-tiba terasa pusing.
"Apakah Robert adalah adikmu yang meninggal karena AIDS?" tanya Isti dengan suara gemetar. “
Anggukan kepala David membuat mata Isti nanar. la menatap David dengan seribu pertanyaan. Mata yang biru itu tampak berduka. Semua jawaban yang dicari Isti ada di dalamnya.
Tubuh Isti bergetar. Oo, tidak! Nani tak akan sebodoh itu. Namun Isti melihat tubuh adiknya yang semakin kurus dan pucat. Isti menggigil. la sekarang teringat, Nani kerap kali mengeluh, mulutnya sering sariawan dan perih. Katanya, infeksi jamur. Isti kembali menggigil. la seakan-akan melihat virus laknat itu menggerogoti tubuh adiknya. Oh, tidak!
Isti terisak, Di saat terakhir mungkin Nani sadar akan virus laknat yang telah menyerang dirinya. la harus segera menemukan Nani. Melindungi Nani. Adiknya itu pasti sangat menderita. Huruf-huruf yang tertera di surat Nani kembali terbayang. la harus menemukan adiknya. Namun Isti tak tahu apa yang, harus ia lakukan. Wajah ibunya dan Suryo berputar-putar di matanya. David memeluknya lembut.
"Tabahlah, lsti, please, jangan menangis. Kita akan berusaha sekuatnya"
"Isti, kau nggak mau ngopi dulu?" tegur Dohar dengan logat Bataknya yang khas.
"Sebentar, Do ... ,"jawab Isti dan pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada seseorang yang sedang memperhatikannya. Seorang pria dengan brewok¬nya yang lebat namun terkesan rapi. Pria itu tersenyum dan menghampiri Isti.
"Bo1eh aku memperkenalkan diriku? Namaku David Smith," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Dr. David Smith adalah pembicara dari La Trobe University. La memberikan ceramah mengenai aspek sosial penyakit AIDS.
"AIDS memang menakutkan kita semua. Tanpa kita sadari, kita telah mengucilkan mereka. Kita tidak memberi harapan dan merampas hak mereka untuk mendapat perlakuan yang sama, seperti penderita penyakit lainnya. Padahal mereka membutuhkan lebih banyak perhatian, perlindungan, dan kasih sayang.... " David menyarankan, pendidikan tentang penyakit AIDS sebaiknya tidak diembel-embeli dengan gambar-gambar yang menakutkan.
"Kau memberi ceramah sangat bagus. Selamat, David," puji Isti.
"Terima kasih, Isti. Namun, aku tidak tahu, apakah sikap peserta yang hadir saat ini terhadap penderita AIDS akan berubah lebih baik?"
"Mudah-mudahan, David. Tapi, untuk tidak menjadi takut dan mengasihi, Oo ... , aku tidak tahu bagaimana caranya," kata Isti terus terang. David tersenyum lembut. la menarik napas panjang. .
"Memang sulit, Isti. Semula aku juga tidak peduli, namun setelah adikku sendiri terkena AIDS, aku menyadari ada sesuatu yang harus kita perjuangkan,"
"Ooh ... ," keluh Isti simpati. "Dan, bagaimana keadaan adikmu sekarang, David?"
"Robert meninggal setahun yang lalu," jawab David sambil menghela napas panjang. "
"Oh, maaf ... ," kata Isti lembut.
"Tidak apa-apa, Isti. Musibah itu telah mengubah hidupku menjadi lebih berarti. Aku menjadi sukarelawan untuk memberi penerangan mengenai AIDS. Kami berkeliling dari kota ke kota, dari sekolah ke sekolah dan organisasi pemuda, untuk menyadarkan mereka tentang penyakit itu. Bagaimana cara menghindari dan menghambat penyebarannya. Walaupun hanya sebagai lilin¬ lilin kecil, kalau kita bergabung, pasti akan kelihatan manfaatnya."
David menjadi teman korespondensi yang menyenangkan. la selalu menceritakan kegiatan sehari-harinya. Yang lucu, yang menggembirakan, dan yang menjengkelkan. Demikian juga lsti. Mereka saling bertukar pendapat. David rajin mengirim artikel-artikel penelitian mengenai AIDS. Menanyakan kemajuan Isti dan menyatakan kerinduannya.
"Ada seseorang yang istimewa yang akan kau undang, Mbak?" tanya Nani ketika melihat Isti sibuk menulis alamat di sampul surat undangan.
"Seorang teman di Australia. Tapi aku tak yakin ia akan datang," jawab Isti tersenyum dalam hati. la tak tahu, bagaimana reaksi ibunya kalau David benar¬ benar datang. Nani tertegun ketika membaca alamat yang tertera di sampul undangan. Wajahnya berubah keruh.
"Mengapa?"
Isti bertanya heran.
"Tidak apa-apa," Nani menjawab pendek dan pergi meninggalkan Isti. Malam nanti adalah malam midodareni. Nani pergi ke salon dari jam 12 siang tadi dan belum kembali. Sudah jam empat sore. Nani belum juqa kembali.
Disusul ke salon, ternyata Nani meninggalkan sepucuk surat. la membatalkan rencana perkawinannya!
Maafkan Nani, Ibu. Nani telah berdosa dan membuat Ibu sedih. Nani tidak bisa menikah dengan Mas Surya. Namun percayalah, apa yang Nani putuskan adalah yang terbaik untuk Nani maupun Mas Surya ....
Bu Darsono jatuh pingsan ketika membaca surat Nani. Seisi rumah menjadi panik,
Isti tertegun sesaat. Ada suatu perasaan yang tak dapat dikatakannya.Wajah Suryo melintas. Kemudian wajah David. Isti tak tahu siapa yang kini mengisi relung hatinya. Ah, mengapa ia harus menghalangi Nani untuk meraih kebahagiaan? Bukankah jodoh memang sudah digariskan? Isti memeluk adiknya dengan mata berlinang.
"Jangan berkata begitu. Kau tak mengambilnya dariku. Tuhan telah memberikan Suryo kepadamu. Jangan menangis. Aku ikhlas, adikku ... ," Nani makin terisak. la rnemeluk Isti erat-erat,
"Aku takut. Aku berdosa. Aku lebih bahagia bila perkawinan ini tak terjadi"
"Hush, jangan sekali-kali kau berkata begitu. Mbak doakan, kebahagiaan akan melimpahi perkawinanmu. Nah, jangan menangis lagi, adikku," hibur Isti tulus.
Isti menghela napas panjang. Nani membatalkan perkawinannya dengan alasan tak jelas. Isti iba memandang wajah ibunya yang terbaring pucat. Betapa besar rasa malu yang akan mencoreng kehorrnatan keluarganya. Mengapa Nani tidak berpikir sampai di situ? Apa yang harus dikatakannya kepada Suryo? Isti berlutut dan mencium dahi ibunya.
"Isti akan mencari Nani, Bu ... ," bisiknya sendu.
Isti baru menstarter mobilnya ketika sebuah taksi berhenti tiba-tiba. Seseorang turun. Dan jantung Isti seakan berhenti berdetak. David Smith telah berdiri di samping mobilnya.
"Untung aku tidak terlambat. Kau hendak pergi, Isti?" mata David yang biru tampak berbinar.
"Hai ... ," Isti menyapa David tanpa semangat. "Ada apa, Isti? Kau tampak tidak bahagia .... "
"Mari masuk ke mobilku, David. Ada sesuatu yang terjadi. Dan aku akan menceritakan kepadamu."
"Kau tampak sangat berduka, Isti.Sebaiknya kau ceritakan dulu hal itu .... " "David, Nani adikku, mendadak meninggalkan rumah dan membatalkan perkawinan. Aku harus segera menemukan dia," jawab Isti agak ketus. Tiba-tiba saja ia ingin marah. lsti ingin melampiaskan semua kekesalan dan laranya. "Isti, berhentilah. Biar aku yang mengemudi ... ," bujuk David lembut.
Isti menarik napas panjang. la menghentikan mobilnya ke tepi. David menghapus air mata yang mengalir di pipi Isti.
"Berpikirlah secara tenang, Isti. Kau tahu, mengapa Nani membatalkan perkawinannya?"
"Aku tak tahu, David. Tapi semua orang menduga karena aku," Isti menuturkan pandangan menusuk yang diterimanya dari Bude Ami dan Bude Surti. Menyakitkan. David menggelengkan kepalanya. Matanya yang biru menyiratkan keyakinan.
"Tidak, Isti. Pasti bukan karena engkau. Kau pernah menulis di suratmu. Persoalan tersebut sudah selesai. Jangan kau salahkan dirimu."
Isti menghela napas panjang. Pikirannya terasa buntu. la merasa letih. Keyakinan David menghibur hatinya.
.
"Apakah Nani pernah menceritakan kepadamu tentang kesehatannya?" tanya David tiba-tiba setelah terdiam beberapa lama.
Isti tertegun. Nani tidak pernah cerita apa-apa tentang kesehatannya dan dia juga tidak pernah memperhatikannya. Ya, Nani memang tampak kurus dibandingkan satu atau dua tahun lalu.
David menghela napas panjang. la mengeluarkan sehelai foto sebesar kartu pos dan memberikan kepada Isti. "Aku belum pernah bertemu dengan adikmu, Isti. Tapi foto yang terpajang di meja kerja Robert ini sangat mirip denganmu. Apakah gadis yang bersarna Robert itu adalah Nani, adikmu?"
Mata Isti terbelalak menatap foto di tangannya. Ya, gadis itu adalah Nani. Samar-samar Isti teringat. Nani pernah punya pacar ketika belajar Administrasi Bisnis di Australia. Kepala Isti tiba-tiba terasa pusing.
"Apakah Robert adalah adikmu yang meninggal karena AIDS?" tanya Isti dengan suara gemetar. “
Anggukan kepala David membuat mata Isti nanar. la menatap David dengan seribu pertanyaan. Mata yang biru itu tampak berduka. Semua jawaban yang dicari Isti ada di dalamnya.
Tubuh Isti bergetar. Oo, tidak! Nani tak akan sebodoh itu. Namun Isti melihat tubuh adiknya yang semakin kurus dan pucat. Isti menggigil. la sekarang teringat, Nani kerap kali mengeluh, mulutnya sering sariawan dan perih. Katanya, infeksi jamur. Isti kembali menggigil. la seakan-akan melihat virus laknat itu menggerogoti tubuh adiknya. Oh, tidak!
Isti terisak, Di saat terakhir mungkin Nani sadar akan virus laknat yang telah menyerang dirinya. la harus segera menemukan Nani. Melindungi Nani. Adiknya itu pasti sangat menderita. Huruf-huruf yang tertera di surat Nani kembali terbayang. la harus menemukan adiknya. Namun Isti tak tahu apa yang, harus ia lakukan. Wajah ibunya dan Suryo berputar-putar di matanya. David memeluknya lembut.
"Tabahlah, lsti, please, jangan menangis. Kita akan berusaha sekuatnya"
Namun air mata Isti semakin deras. Perjuangan itu begitu berat. Mampukah ia menumbuhkan harapan kepada Nani? Mampukah kelap-kelip lilin menerangi kegelapan di tengah badai, walaupun sejuta lilin bergabung? Hanya kepada-Nya Isti memohon agar lilin-lilinnya tiada padam.
Sumber: Femina, No.11/XXV, 20-26 Maret 1997
Sumber: Femina, No.11/XXV, 20-26 Maret 1997
Labels:
Cerpen Sedih
Thanks for reading Lilin-Lilin Kecil. Please share...!
0 Comment for "Lilin-Lilin Kecil"