Kumpulan Cerpen atau Cerita Pendek

Search This Blog

Jasa Nelayan

Raja Cerpen ~ Tiga jengkal lagi matahari menyelinap di balik gunung. Gumpalan awan merayap, menari membayangi langit jingga. Udara sore mendesah. Ombak menampar sampan nelayan yang meminjam nafas di dermaga.  Di sela hutan bakau, pencari kerang berderet bagai tikus trotoar yang pesta bermandi  lumpur.


Gemericik air laut  bersuara  merdu. Bukit-bukit biru beserta kerlingan matahari di batas senja. Layar mengembang. Burung-burung riang di udara, elok dipajang,  indah  dinikmati  dan  dikunyah,  ditelan hari galau dan pikiran gelisah. Tetapi yang demikian mungkin hanyalah romantika  penghuni kota yang iseng, bukan buat Basri yang mencari nafkah. Oleh suatu alasan, sebenarnya  hari itu ia harus menepi  pada pukul  tiga.  Tetapi  berhubung   ikan  yang  diperoleh  seberapa,   lantas jam  kerjanya  diperpanjang.

Tuhan  Maha  Pemurah.  Siang  malam  ikan di laut dikuras  sekian nafsu, sekian perut, dan segunung  harapan, namun masih saja tersisa rezeki bagi mereka yang bersabar dan  mencari. Tak bosan-bosan orang menyebarkan racun, melempar  bom, menghancurkan  terumbu karang, meledakkan tempat  ikan berkembang biak, membabat habis kekinian dan masa depan binatang laut, tetapi  tetap  saja  Tuhan bermurah hati walau langsung atau tidak bayi-bayi dalam gendongan ikut memikul beban,  dari tiap hari bertambah berat, semakin  parah.

Pelan-pelan Basri mengangkat jangkar, memandang arah dermaga tempat nelayan dan tengkulak hilang. Bapak tiga anak itu bergerak cepat. Layar mulai dipasang. Sebuah termos plastik dekat kemudi dibuka. Sebaris senyum melintas di bibirnya sebelum menutup kembali  termos  plastik.  Di benaknya tiba-tiba muncul wajah putri sulung yang memesan kaus kaki putih, sepatu, dan topi cokelat guna mengikuti  lomba gerak jalan antar sekolah.

Tengkulak terakhir duduk tenang di bibir dermaga. Sesekali tatapannya memandang sampan  nelayan mendekati. Wajahnya tak berekspresi. Bila saja batang leher perempuan itu tidak bergerak karena memandang  dua ember ikan yang ia beli pada nelayan-nelayan sebelumnya,  keberadaannya   boleh dibilang mirip gentong.

"Cepat!" perempuan berbadan subur itu menyambut. "Sudah sore!" Basri melempar jangkar, menepikan sampan dan terburu-buru menginjak  daratan  sambil  menjinjing  termos  ikan. Mau jual berapa?"

Tengkulak menghadang dengan pertanyaan tatkala ia memperlihatkan jenis-jenis ikan yang diperoleh.

"Maunya berapa?" ia berbalik bertanya.

"Kamu dong, bilang," perempuan itu berkata sambil membolak­balik ikan dalam termos dengan pandangan  tak bernafsu. "Ayo, sudah sore," ia menyelipkan  empat lembar  uang ribuan  ke tangan Basri.

Ayah tiga anak itu memegang uang yang diberi tengkulak. Wajahnya pucat.  Mulut  Basri  ternganga. Belum pernah  laki-Iaki bertubuh  kekar  itu sedemikian  pucat tidak  saat  itu menghadapi  hiu atau ombak seganas apa pun. Basri terheran-heran.

"Segini?" katanya dengan suara hampir tak keluar. 'Tidak," ia menggeleng.

"Lho?  perempuan  setengah  baya  itu  kaget.  "Mau menjual berapa?" tanyanya serius.

"Tetapi jangan segini," Basri menjawab. "Ikan-ikan itu kan banyak." "Siapa bilang ikan ini sedikit? Kamu kan tahu saya tak bisa langsung menjual sore ini. Saya hanya bisa menjualnya besok pagi.
Untuk itu mesti kuawetkan. Saya akan membutuhkan uang untuk membeli es batu segala."

"Tetapi harga es batu berapa, sih?" Basri berkata spontan. "Ya, sudahlah," perempuan itu menanggapi, bersikap mengalah. la mengeluarkan uang yang disimpannya dalam BH lalu berkata seolah seperti sedang pasrah, "Saya tambah seribu."

Basri berpikir-pikir. Kepalanya menunduk. Lama baru kemudian ia menggeleng.

"Mau?" perempuan itu memperingatkan."Kalau mau, ambil. Kalau tidak saya pulang. Ayo! Sudah sore," perempuan itu berkata serius dengan nada mengandung ancaman.

Basri berpikir keras. Sepasang sepatu hitam, kaus kaki putih, topi cokelat, dan ikat pinggang hitam yang digantung depan toko pakaian di lorang pasar di kota kecamatan menari-nari di pelupuk matanya. Oalam benak muncullagi wajah putrinya yang cantik berdiri anggun, tegap pada baris terdepan ditonton ratusan warga desa di jalan utama pusat kota, disaksikan orang sekecamatan. Dalam darahnya  tersirap rasa bangga.

Sebuah bus antarkota berhenti di jalan raya. Pedagang ikan berbadan gemuk melompat ke bus lalu  terdengar kendaraan itu menderu, jauh, semakin jauh, menghilang di tikungan jalan.

Basri tak berkutik. Hari itu ia bukan hanya gagal memperoleh uang,  tetapi kalah dalam segala permainan.  la menggaruk kepala, menarik embuskan napas kemudian mencari di mana puntung rokoknya disimpan. la menggeleng. Rupanya ia tidak sekadar menggertak, pikirnya. "Mentang-mentang   ...   ," suara Basri meletus  bagai gunung api memuntahkan lahar.

Bulan sabit merayap di atas bukit. Gelap mulai merembes sedang sore memasuki malam. Basri kembali ke sampan. Pelan-pelan sampan di dayung. Gemericik air laut  terdengar seperti makian yang bersetubuh di udara. Sisa beras dan sorotan mata istri yang menunggu di depan rumah  merobek nuraninya.  Mata telanjang  dan senyuman manja  sang  putri  membobol  air  mata.  Suara  maafnya membelah lautan. Selembar janji tertunda lagi sedangkan lomba gerak jalan kian mendekat.

Laki-Iaki  itu tidak berputus  asa. Gelombang  mengayun  sampannya. Ikan-ikan  tersenyum sinis.

Dikutip dari: 
Lalat-Lalat dari Burung Bangkai Kumpulan Cerpen Terpilih,
N. Marewo, Jendela 2004

Labels: Cerpen Singkat

Thanks for reading Jasa Nelayan. Please share...!

0 Comment for "Jasa Nelayan"

Back To Top