Kumpulan Cerpen atau Cerita Pendek

Search This Blog

Lukisan Matahari

Raja Cerpen ~ Sudah tiga malam berturut-turut Sukamdi bermimpi aneh. la melihat 17 Matahari muncul  bersamaan. Meski jumlahnya 17, panasnya sama dengan satu Matahari. Tiga Matahari menyembul  dari daerah persawahan di depan rumahnya. Empat Matahari muncul dari ufuk timur. Lima Matahari tiba-tiba berada di langit, sedangkan lima terakhir tampak berputar-putar pada ketinggian kira-kira  5.000 kaki di atas permukaan  laut.

Pada malam ke-4, ke-5, dan ke-6, ia tak mimpi apa-apa.  Tetapi pada malam ke-7 ia mimpi lagi. Dan sama, melihat 17 Matahari. Malam-malam berikut laki-Iaki itu seperti takut tidur. Meski rasa kantuk sudah mirip siksaan yang mendera, ia tetap berusaha untuk tak memejamkan mata. Tergolek di samping istrinya, berkali-kali memiringkan badan lalu membalikkan lagi sehingga istrinya protes karena merasa terganggu.

"Mimpi yang dahsyat," desis Mia kemudian sambil memandangi suaminya. "Kau akan jadi orang hebat. Dikenal luas  oleh masyarakat, Siapa tahu,  ya  siapa  tahu,  sebagai  pelukis  derajatmu  akan naik. Bukan lagi sebagai pelukis kaki lima yang dilecehkan orang. Siapa tahu lagi, pameranmu bulan depan bisa sukses."

Sukamdi mengangguk-angguk. Hari-hari terakhir ini ia memang sedang kerja keras merampungkan beberapa buah lukisan. Semua lukisan naturalisme, ada  beberapa  yang  agak dekoratif. Selama ini tak pernah karyanya dilirik kolektor kakap. Atau namanya diucap oleh kritikus seni. Wartawan  saja enggan mengekspos dirinya. Malah ada yang menyindir bahwa dirinya tak lebih pelukis sepiring nasi. Artinya, harga  lukisannya memang  cukup untuk makan sekali.

"Wujudkan mimpimu itu dalam sebuah lukisan. Orang-orang pasti kaqet," ucap Mia memberi semangat. "Objeknya  dirimu sendiri. Kau berdiri mematung dikelilingi 17 Matahari.  Jika nanti  ada  yang bertanya,  jawab saja dengan jujur kau memang pernah bermimpi melihat 17 Matahari." 

"Bagaimana?" tanya  Sukamdi  penuh  harap.

"Gubernur tak bisa hadir. Tapi beliau akan memberi sambutan tertulis dan akan dibaca oleh Pak Wagub," jawab Mia bernada bangga.

Sukamdi dan Mia hampir  tak percaya  melihat  jumlah tamu sore itu. Hanya upacara pembukaan    pameran lukisan. Tamu yang  hadir 500 orang. Halaman gedung kebudayaan yang tak seberapa luas  itu tak mampu menampung mobil yang diparkir. Juga puluhan sepeda motor terpaksa parkir di trotoar, beberapa wartawan mondar-mandir menenteng tustel. Juga wartawan dari televisi. Yang terakhir itu ke mana-mana memanggul kamera video.

Sambutan tertulis gubernur ternyata cuma selembar. Dibaca oleh wakilnya itu tak sampai sepuluh menit. Upacara pembukaan selesai dalam waktu singkat. Wakil gubernur lalu memasuki ruang pameran diikuti para wartawan dan tamu undangan yang lain. Sukamdi dan Mia mengantar orang terhormat itu sampai rampung melihat-lihat lukisan yang dipajang.

Begitu semua sudah dilihat, lelaki itu segera minta pamit karena masih harus meresmikan acara lain, yakni penataran kejujuran karyawan pemerintah daerah.

Sukamdi hampir saja minta kepada petugas agar mulai menutup jendela ketika sebuah mobil sedan warna metalik masuk pelan-pelan. Suara mesinnya hampir tak terdengar. Dua satpam yang sejak tadi duduk terkantuk segera berdiri dan berlari mendekati mobil itu. Yang seorang tangannya cekatan membukakan pintu dari luar. "Selamat malam Pak Sutomoyo,"sapa hormat dua Satpam itu begitu seorang lelaki gemuk keluar dari mobil. Lelaki itu membalas dengan menggangguk-anggukkan kepala. Seorang wanita muda berjalan di sampingnya.

"Saudara yang bernama Sukamdi?" tanya lelaki bernama Sutomoyo itu pada Sukamdi. Yang ditanya langsung mengangguk penuh hormat. "Mana lukisan 17 Matahari itu?"


"Di sana, di sana, Pak. Mari kami antar." Sukamdi menggamit tangan Mia. Keduanya membungkuk-bungkuk hormat memandu Sutomoyo dan wanita muda yang berjalan di sampingnya. "Ini, ini lukisannya," tunjuk Sukamdi gugup campur gembira. "Jujur saja kami akui, Pak, lukisan ini berdasar mimpi."

"Mimpi?" tanya Sutomoyo. "Mimpi apa kau?" 

"Saya mimpi melihat 17 Matahari. Tak hanya melihat, malah seolah saya dikelilingi 17 Matahari itu."

"Hemm," Sutomoyo mengangguk-angguk. la melirik wanita muda di sampingnya. Sesaat kemudian   wajahnya berkerut. "Kubeli lukisan ini, berapa pun harganya. Dengan satu syarat."

"Apa itu, Pak?" tanya Sukamdi penuh harap.

"Yang berdiri di situ bukan kamu, tapi aku. Aku berdiri, menatap cakrawala yang memerah dan dikelilingi 17 Matahari."

Mulut Sukamdi ternganga.  "Yang bermimpi saya, Pak," ucapnya kemudian gugup campur  takut "Kubeli mimpimu! Berapa?  Lima juta, sepuluh juta? Oke, sepuluh juta dengan syarat lain. Ganti gambarmu  dengan  gambarku  dalam semalam. Esok pagi sebelum pukul sepuluh, lukisan itu harus jadi dan kau antar ke kantorku.  Bisa?"

"Kalau saya buat yang baru, yang lebih bagus, Pak? Lukisannya sama. Bapak berdiri dikelilingi 17 Matahari."

"Kalau lukisan ini masih ada, itu tak ada artinya. Buat apa mengoleksi lukisan kodian. Pokoknya  cuma ada satu lukisan tentang seseorang yang dikelilingi 17  Matahari.  Orang  itu  aku  dan  lukisan   itu cuma  milikku." Sutomoyo menggamit tangan wanita muda di sampingnya. "Luki, berikan cek sebesar 10 juta  pada seniman kita ini."

"Sepuluh juta, Pak?" tanya Luki agak ragu.

"Ya. Sepuluh juta untuk membeli lukisan sekaligus mimpi aneh senimannya. Aneh memang.  Seharusnya kau tidak mimpi seperti  itu."

Tangan  Sukamdi  gemetar  menerima  cek sebesar  itu. Tak pernah  ia bermimpi  bahwa lukisannya  akan dibeli orang seharga 10 juta. Andaikata nanti ada yang mau membeli lukisannya.  Berapa rupiah yang akan masuk ke kantongnya?  Mia tersenyum sewaktu menerima cek dari suaminya.

"Ingat, besok pagi, sebelum pukul 10 lukisan itu harus sudah jadi dan kau antar ke kantor," Sutomoyo segera menggamit tangan Luki, "hanya orang istimewa bisa mimpi dikelilingi 17 Matahari. Ya, 'kan?" celetuknya ketika sudah tiba di luar. Luki mengangguk dan tersenyum.

Malam itu Sukamdi gemetar ketika berdiri di muka lukisan yang sudah dibeli Sutomoyo, orang  terkaya  di  kota  ini.  10 juta!  Dan  ia tak  berhak memiliki  mimpinya  sendiri!  Edan.

Semalaman Sukamdi hanya berdiri memandangi  dirinya dalam lukisan itu yang juga sedang  berdiri dikelilingi 17 Matahari.  Kuas yang ada ditangannya  tetap bersih. Kaleng-kaleng  cat masih tertutup semua.  Potret Sutomoyo  tergeletak  di samping  sandal jepit  miliknya. 

"Mas!  Mas!"  teriak  Mia  dari  luar  sambil  menggedor   pintu  gudang. "Sudah  pukul 9. Kau harus mengantar  lukisan  itu sekarang  juga."

Sukamdi  tergagap. Ketika  ia menyibak  gorden jendela,  di luar sudah terang. Terang  sekali  karena  sinar  matahari  langsung  menembus   kaca jendela.   "Gila!"  desisnya   sewaktu   membuka   pintu.  Mia  menjerit  begitu melihat lukisan itu masih utuh. Tak ada perubahan apa-apa. "Bagaimana, Mas?!" tanya wanita  itu gugup.

"Mana cek itu?" tanya Sukamdi.  "Mana?"  desaknya  kemudian. "Untuk  apa?  Bukankah  lukisan  itu harus  kau ubah dulu?"

"Aku tidak akan mengubah  lukisan ini. Aku tidak akan menjual mimpiku sendiri.  Aku  masih  punya  harga  diri. Apa  di negeri  ini orang  tak boleh bermimpi?  Padahal  hanya  itu milik kita yang  paling  berharga. Sekarang mau dirampas. Tidak!" lelaki itu merebut dompet istrinya dan mengambil selembar  cek di dalamnya.  "Aku pergi dulu!"

"Ke mana?"

Sukamdi tak menggubris. Ia berjalan bergegas. Setengah berlari. Lalu berlari sambil mengibar-ngibarkan selembar cek  di tangannya. Orang­-orang kaget sewaktu lelaki itu berhenti di muka gedung bertingkat yang baru saja diresmikan. Semua  orang tahu  siapa pemilik gedung  di pusat perkantoran  itu. Sutomoyo,  orang  paling kaya di kota ini.

"Pak Sutomoyo, masih ingat saya?" teriak Sukamdi lantang. "Sayalah pelukis  yang  bermimpi  dikelilingi 17 Matahari. Dan Bapaklah yang mau membeli seharga 10 juta. Saya  tidak  rela.  Karena  itu, bersama ini saya kembalikan cek Bapak.  Ini ambillah."

Sukamdi  merobek-robek  cek itu disaksikan beberapa Satpam gedung itu dan puluhan  yang berdiri mengelilinginya.  "Ambillah ini." Robekan cek itu lalu disebar ke udara.

Orang-orang itu ternganga melihat pemandangan yang langka. Sukamdi  berjalan sambil tertawa  meninggalkan tempat itu.

Dikutip dari: Lukisan Matahari, 19 Cerpen Pilihan Bernas, Bentang Offset, 1993
 
Labels: Cerpen Sedih

Thanks for reading Lukisan Matahari. Please share...!

0 Comment for "Lukisan Matahari"

Back To Top